(3) Teh Mariam dan Preman Ketemu Mas Jeka

Serial Sadhana Mas Jeka

dari google

Pagi-pagi Mas Jeka sudah rajin membersihkan halaman rumah keluarga Bene. Dia terlihat sangat menikmati pekerjaan itu. Tiada kesan ia ragu atau malas. Di setiap sudut rumah, tak luput dari tangannya untuk dibersihkan.

“Selamat pagi, Mas Jeka,” sebuah suara mengejutkan Mas Jeka yang kali ini sedang asyik menyapu. Mas Jeka menolehkan kepala ke samping. Nampak Teh Mariam sedang tersenyum sembari menjemurkan kain.

“Selamat pagi juga, Teh. Wah, habis mencuci nih?” sembut Mas Jeka ramah.

“Iya nih, Mas. Mencuci banyak kain buat persiapan melahirkan nanti.”

“Memangnya usia kandungan Teh Mariam sudah berapa bulan?” Mas Jeka mendekati Teh Mariam berdiri di depan rumahnya yang hanya dibatasi pagar pendek dengan rumah Bene.

“Sudah masuk bulan kesembilan, Mas…”

“Wah, sebentar lagi dong bayinya keluar.”

“Betul, Mas. Saya hanya tinggal menghitung hari saja. Doakan saya dan bayi saya ya, Mas… Saya  dan suami sudah lama sekali mendambakan bayi ini.”

“Baik, Teh. Pasti akan saya doakan. Teh sudah meminta agar punya anak kepada yang Kuasa, pasti Dia juga yang akan membantu Teh melahirkan.” Mas Jeka menunjuk ke atas ketika mengatakan “Dia”.

Teh Mariam tersenyum senang. “Iya, Mas. Selalu itu yang saya kerjakan. Saya masuk dulu ya. Mau beberes rumah lagi.”

“Silahkan, Teh Mariam. Silahkan. Selamat beberes.”

Sepeninggal Teh Mariam, Mas Jeka kembali beberes halaman rumah Bene. Beberapa tanaman bunga sederhana yang hampir melayu, ia gemburkan tanahnya dan disiram dengan air.

Ajaib, bunga yang hampir melayu itu tiba-tiba segar kembali bahkan memancarkan sinar. Senyum Mas Jeka memanjang. Ia cium bunga itu sambil memejamkan mata seperti berdoa.

“Hayo, Mas Jeka…, ngapain?” Terry, adik Bene terkecil sengaja mengagetkan Mas Jeka dari belakang. Mas Jeka sedikit terkejut, tapi ia kembali tersenyum dan membimbing Terry untuk ke hadapannya.

“Mas Jeka lagi nyiram bunga ini supaya nggak layu,” jawab Mas Jeka sambil menunjuk bunga yang sudah segar itu.

“Wah, bunga ini kan kemaren sudah mau mati. Mama saja sudah bilang ke Kak Bene supaya menebang tanaman ini saja,” corocos Terry.

“Jangan. Bunga ini kan indah. Ciptaan Tuhan juga. Kalau kita menjaganya dengan baik, pasti akan terlihat indah seperti sekarang. Coba kamu lihat.”

Terry memperhatikan bunga itu dengan sungguh-sungguh. Dia sedikit terheran-heran. “Mas Jeka ngasih apa sih kok bisa buat bunga ini kembali segar? Ada pupuk khusus ya? Pasti harganya mahal.”

Mas Jeka memangku Terry yang cerewet itu. Ia memencet hidung anak kecil itu tidak keras. “Pupuk khusus yang Mas Jeka pakai adalah pupuk kasih sayang. Cinta kasih. Kalau setiap ciptaan diberi pupuk itu, dijamin pasti akan menjadi segar. Menjadi indah. Nggak perlu melayu apalagi mati.”

“Kalau misalnya orangnya jahat seperti Kak Robi itu gimana?”

“Kak Robi yang mana?”

“Itu, temannya Kak Bene yang setiap kali kemari senangnya bentak-bentak dan bawa minuman.

“Ooo… dia…” Mas Jeka ngangguk-ngang?guk.

“Mas Jeka kenal dia?”

Mas Jeka berpikir sejenak. “Sebenarnya enggak. Tapi, Mas Jeka pernah dengar namanya disebut oleh Kak Bene.”

Ganti Terry yang ngangguk-ngangguk.

“Memangnya kamu pernah diganggu Kak Robi?”

“Enggak juga sih… Tapi, Terry nggak suka dengan Kak Robi.”

Mas Jeka mengacak-acak sedikit rambut Terry. Dia tahu pertanyaan anak itu barusan sagat polos. Tanpa bermaksud menyinggung atau membuat sedih orang.

“Terry… Kamu nggak boleh gitu. Apa yang diajarkan tentang cinta kasih?”

Terry berpikir sejenak. Sekejap ia tersenyum senang. “Cintailah sesamamu manusia seperti engkau mencintai dirimu sendiri.”

“Pinter…”

“Selamat siang…”

Spontan Mas Jeka dan Terry menoleh ke arah suara. Begitu mengetahui siapa yang datang, Terry langsung berdiri dan bersembunyi di belakang tubuh Mas Jeka. Terry membisikkan sesuatu ke telinga Mas Jeka dengan wajah rada ketakutan.

“Selama siang juga. Ooo…, Mas Robi… Silahkan masuk,” jawab Mas Jeka sembari melindungi sekaligus menenangkan Terry.

“Bene ada? Hik,” tanya Robi seperti gaya orang mabuk.

“Oo, setelah pulang sekolah, dia pasti ke pasar, bantu Mamanya jualan.” Mas Jeka mendekati Robi yang tidak juga mau masuk ke rumah. Sementara Terry masih terlihat ketakutan. “Apakah Mas Robi ini ada perlu dengan Bene?”

Tanpa disuruh, pemuda ceking bernama Robi itu rada sempoyongan masuk ke dalam rumah dan duduk di teras. Terry makin ketakutan dan berlindung di balik punggung Mas Jeka.

“Bene itu janji mau ke rumah gua selama nyokap bokap gua pergi. Tapi, dia kaga nongol-nongol juga,” curhat Robi.

“Lho, memangnya Papa dan Mama Mas Robi ini kemana?” tanya Mas Jeka.

“Mereka lagi ke luar negeri. Ada kerjaan di sana. Mereka memang selalu sibuk. Tidak peduli aku lagi. Hik…”

“Wah siapa bilang mereka tidak perhatian padamu?”

“Buktinya mereka selalu pergi-pergi. Jarang sekali ada di rumah.”

“Tapi, kamu tetap harus menghormati orang tuamu sebagaimana perintah penciptamu, bukan?” Mas Jeka mengingatkan.

“Akh,” Robi mengibaskan tangannya., “Gimana mau menghormati mereka, kalau mereka juga ga tau kalau gini-gini gua selalu hormat sama mereka. Lagian emang mereka mau tahu isi hati gua sebenernya gimana?”

Mas Jeka diam saja, mendengarkan omelan Robi.

“Biar gua kayak orang mabok begene nih… Tapi, gua kaga mau nyusahin mereka dah. Kaga. Mending ntar diurusin, kalo enggak? Lebih gawat kan gua?”

Kali ini Mas Jeka ngangguk-ngangguk. Terry mulai berani minta dipangku, tidak ngumpet lagi. “Lalu, kamu sehari-hari kerjanya ngapain?”

“Aku?” Robi menunjuk dirinya sendiri. “Just fun… What else?” Robi tertawa-tawa sendiri.

“Kata Kak Bene, Kak Robi punya band ya?” Terry memberanikan diri bertanya.

“Eh, adek kecil ini tauan juga,” Robi menyeringai.

“Hebat dong kalau punya band. Berarti kamu punya kegiatan,” tambah Mas Jeka memberi semangat.

“Lagi macet,” gerutu Robi tiba-tiba.

“Lho kenapa?”

“Teman-teman gua butuh bimbingan. Gua kira si Bene bisa bantu, nggak taunya dia cuma janji doang…”

Mas Jeka tersenyum. “Bene sedang sibuk membantu Mamanya. Tapi, percayalah, kalau dia bukan tipe orang yang mengingkari janji. Dia pasti akan ke rumahmu dan menepati janjinya.”

Robi berdiri. “Oke deh. Gua nunggu dia aja. Tapi, bilang ke dia ya, kalo ampe dia kaga datang lagi sore ini, temen-temen gua ntar yang akan nagih janji dia.”

Mas Jeka ngangguk-ngangguk juga. Senyum tidak lepas dari bibirnya. “Baik, nanti saya sampaikan.”

“Gua mau cabut dulu dah. Udah kelamaan gua di sini.” Robi bergegas pergi.

“Mau kemana kamu?” tanya Mas Jeka.

“Mau ngukur jalan. Gua butuh udara lebih segar lagi…”

“Mau ngukur jalan kok mabok gitu. Ditabrak mobil lho,” ujar Terry sendiri mengingatkan. Mas Jeka terperangah. Dia segera meminta Terry berdiri dari pangkuannya lalu dia bangkit dari duduk dan memanggil Robi cepat.

“Robi… Tunggu sebentar…” Mas Jeka mendekati Robi yang sudah berhenti melangkah.

“Hati-hati ya. Tuhan berkati.” Mas Jeka menyalami Robi. Robi pun menyambutnya meski dengan tatapan heran.

Sekonyong-konyong, seperti aliran listrik yang mengalir, Robi merasa tersadar kembali. Aura jelek karena dampak dari mabok minuman keras, seketika menghilang. Robi merasa segar kembali. Dia sendiri terheran-heran atas perubahan itu. Tapi, tak lama ia tak ambil pusing lalu berlalu.

“Kalo nanti dia ketabrak mobil, gimana Mas?” Terry tiba-tiba sudah ada di sebelah Mas Jeka.

Mas Jeka menoleh dan tersenyum. “Jangan kuatir. Dia akan baik-baik saja. Ada yang selalu melindunginya.” Terry dan Mas Jeka memandang Robi hingga tak terlihat lagi di depan mata. “Gimana kalo kita menyusul Kak Bene di pasar menyampaikan pesan Robi tadi?”

“Ke pasar, Mas? Boleh-boleh. Asik…” Terry kegirangan karena akan dibawa Mas Jeka ke pasar, tempat Mamanya bekerja. Tak lama mereka terlihat bersiap-siap menuju pasar.

^^^^^

(bersambung)

2 Comments

Kesan Anda