Berteman dengan GERD

Pernah berharap tanpa harus ada gelombang tak perlu
Nyatanya memang harus melalui itu supaya lebih paham dan tahu

…………….

Waktu masih di Lampung dan selama kuliah, Ibu memang mewajibkan saya dan Bapak untuk selalu sarapan dan makan siang atau malam tepat waktu. Karena dulu sudah langsung tersedia di meja makan, maka saya tidak bisa menolak.
Lauk sarapan tidak selalu harus empat sehat, lima sempurna. Ibu hanya berusaha mengikuti sebuah ajaran dari orang tuanya dahulu, yaitu agar selalu mengusakan supaya perut tidak kosong. Apalagi kalau akan langsung beraktivitas dan atau sedang kurang enak badan

Untuk keharusan sarapan ini, Ibu saya punya istilah sendiri “Biar se-emplokan, perut nggak boleh kosong sebelum pergi.”
Se-emplokan itu = sesuap.
Satu nasihat Ibu itu sangat terpatri di kepala saya. Biar sesibuk atau sepadet waktu apa pun, saya usahakan perut isi meski mungkin cuma roti atau gorengan.

Sayangnya, nasihat Ibu satu itu sedikit bergeser ketika saya kuliah di Bandung-Jatinangor terutama ketika full berkuliah di Jatinangor sementara saya kos di Bandung.
Kadang jam 5.30 kudu standby di pool Damri Jatinangor dekat kampus Unpad Dipatiukur.
Jangankan sarapan, kadang juga bangun kesiangan yang bikin saya nggak sempat mandi. Jadi cuma sempat minum air putih. Syukur sempat tersisa air hangat di tremos jadi bisa bikin teh manis hangat.
Tapi, jarang banget ada sisa air hangat di tremos karena selain habis, ya sudah dingin.

Kalau di bis Bandung-Jatinangor ada pedagang makanan, saya juga jarang jajan.
Hemat adalah faktor utama.
Bapak Ibu tidak memberi uang saku berlebih. Bahkan kadang pas banget. Maka saya harus pintar-pintar ngatur uang saku itu biar cukup buat hidup sebulan.

Kala itu, tidak ada keluhan aneh-aneh selain lapar saja.
Bahkan saat berlanjut selepas kuliah dan masuk dunia kerja, karena faktor malas saja saya jadi jarang sarapan.
Tepatnya seadanya.
Kalau ada yang makan, kalau tidak ya tidak dicari.
Maka, kalau ada kegiatan seperti retret yang bisa makan 3x sehari, sebenarnya rahmat dan berkat sebab bisa sarapan meski sarapannya juga nggak bisa banyak.
Sudah terbiasa tidak memaksa sarapan soalnya.

Hingga beberapa tahun kemarin, saya jadi sering merasa sakit perut lalu berlanjut ke kepala. Kalau sakit perutnya nggak terlalu saya perhatikan. Tapi, pas nggak lama kemudian sakit kepala, saya jadi sangat berpikir, ada apa dengan kepala saya?
Bukankah saya berusaha hidup sehat dan selama ini kalau sakit kepala cuma pada waktu-waktu tertentu saja? Misal perubahan cuaca atau menstruasi.

Seorang teman memberi saran supaya saya mulai sering minum air hangat terutama di jam 9 pagi dan 17 atau 5 sore.
Demi sehat, saya turuti.
Beberapa saran lain yang bisa saya lakukan, saya turuti juga.
Puji Tuhan, mulai berkurang. Terutama di bagian perut yang berdampak pula ke kepala.
Belakangan saya tahu, urusan lambung alias perut memang bisa merambat kemana-mana.
Saat itu juga saya teringat lagi soal “se-emplokan” dari Ibu alm alias sarapan. Saya pun mulai rajin sarapan lagi
Kalau dulu seadanya, sekarang harus diadakan.
Perut benar-benar tidak boleh kosong hingga jam makan siang tiba.

Sekitar tahun 2021 akhir, sakit perut saya berkurang bahkan pernah nggak ada masalah sama sekali. Tapi, kenapa sakit kepala ini malah nambah jadi.
Bahkan pernah setiap hari selama kurang lebih sebulan, saya harus benar berupaya untuk tidak minum obat tiap hari sebab sakit kepala yang terus menerus itu.
Segala cara diusahakan selain minum obat supaya sakit kepala berkurang.

Di Gema, ada seorang kakak yang sudah terang-terangan bilang dia kena GERD alias sakit lambung. Gejalanya sering saya perhatikan.
Rada mirip dengan masa saya sakit perut dulu walau ada gejala-gejala lain. Dia bahkan harus dirawat di RS beberapa hari.

Hingga suatu saat, saya kena batuk, diare, sakit kepala, sakit perut, wuih…. Lengkap
Saat berobat, satu-satu sakit itu sembuh. Tapi, kenapa batuknya masih? Terutama kala malam. Membuat tidur malam saya terganggu sangat.

Sudah lama saya sering konsultasi soal kesehatan dengan seorang teman masa kuliah dulu. Kebetulan dia seorang dokter. Dia juga sudah kenal baik badan saya yang Istimewa ini.
Begitu saya ceritakan kondisi saya kalau malam tidak bisa tidur karena batuk, dia langsung komentar, “Haha… Selamat ya Mbak… Kamu udah kena GERD.”

Saya kaget. “Loh, aku kan udah ngurangin pedas, sarapan, makan beruraha tepat waktu. Kok bisa kena GERD?”
“Gimana dengan stresmu? Apakah kamu sudah tidak meneruskan pikira-pikiran yang ada di kepala? Nggak overthingking?”
Langsung saya terdiam.
“Elu lagi stress akhir-akhir kan Mbak? Soale baru kali ini saya dikeluhin sakit yang sama sampai lama banget dan puncaknya batuk malam itu. Salah satu ciri khas GERD adalah batuk kering waktu malam.”

Nggak bisa ada bantahan lagi.
Tebakan teman dokter itu benar adanya.
Akhir-akhir ini harus diakui saya memang stress memikirkan sesuatu.
Sadar tidak sadar bahkan kadang mempengaruhi hari-hari saya. Meski masih tetap mau makan dan bisa tidur, ternyata itu tidak menghalangi saya berkenalan dengan penyakit satu itu.

“Nggak usah stress kena GERD, Mbak… Yang penting tetap makan teratur, usahakan olahraga dan tidur cukup plus… Jangan terlalu banyak dipikirin hal yang nggak perlu. Let it go aja… Saya kenal Mbak Anjar dari jaman kita kuliah sebagai orang yang ceria dan kenal dirinya sendiri. So… Lebih belajar menerima kondisi aja, Mbak. Kalau orang lain nggak bisa ubah, biar kita yang mencoba pelan-pelan terima…”

Kalimat-kalimat itulah menjadi titik balik saya untuk mulai lebih mengenal diri terutama tentang penyakit satu itu.
Bukan berarti nggak mau mengobati. Tapi, sejak saat itu saya merasa GRED adalah kode dari tubuh ini akan sesuatu yang berlebihan.
Entah karena makanan, kesehatian atau pikiran.

Tidak mudah.
Tapi, saya akan berusaha terus untuk bisa memilah, berdamai dan merelakan hal-hal yang selama ini mengganggu kepala dan mungkin tidak terlalu penting dipikirkan terus menerus sehingga bisa memanggil kembali si teman penyakit satu itu.

Kesan Anda