Mas Hilman Hariwijaya di Sepanjang Perjuangan Saya (1)

Hilman “Lupus” Hariwijaya alias Mas Hil

Hilman dan Anto di SMP Xaverius Tanjungkarang 1988
Hilman dan Anto di SMP Xaverius Tanjungkarang 1988

Kalau cerita tentang pertama kenal penulis satu ini rasanya saya sudah beberapa kali cerita. Nggak akan ada habisnya. Bukan saja menjadi bagian kenangan, tetapi juga ada kesan dalam sebab menyangkut perjuangan saya selama ini.
Termasuk lagu yang pernah ia bawakan saat itu dari band yang sedang hits dan menjadi idolahnya, Duran-duran.
Lagu ini yang pada masa itu juga menjadi perjuangan saya mencari judulnya sebab masa itu info hanya bisa melalui majalah atau radio.

Judulnya “Save A Prayer” https://www.youtube.com/watch?v=6Uxc9eFcZyM

Setelah melewati perjuangan agar mendapat restu dari ibu dan bapak supaya mengizinkan anaknya ini boleh menjadi wartawan (dan) atau penulis sejak SMP, cita-cita saya berikutnya adalah bisa bertemu lagi dengan idola saya satu itu.
PD-nya saya kali ini adalah karena akhirnya kami satu atap penerbitan karya buku kami, yaitu Gramedia. Kebetulan buku pertama saya diterbitkan oleh Gramdia Widyasarana alias Grasindo, masih satu bagian dari penerbitan Kompas-Gramedia.

Dari kemarin, saya lupa bagaimana saya bisa mendapatkan kontaknya lagi setelah dari masa SMA dulu itu. Zaman SMA saya pernah ikut semacam kursus jurnalistik bersama Hilman Hariwijaya dan Zarra Zettira di Universitas Lampung, mewakili sekolahan saya. Setelah itu saya tidak pernah bertemu tatap muka lagi. Paling pas sempat main ke Gramedia, papasan lewat. Tapi, malu menegur.

Seingat saya, setelah buku pertama saya keluar, saya ikuti Friendster miliknya lalu mendapat email dan kami mulai kontak melalui email lalu sesekali di YM.
Duh, seneng banget bisa berkontak lagi dengan idola. Apalagi posisinya saya sudah bisa membuktikan sekaligus pamer bahwa apa yang pernah ia sharingkan dan semangati zaman SMP dulu, bisa saya buktikan saat bertemu dengannya lagi kala itu meski via email.
Senangnya lagi, begitu menyebut buku saya, dia langsung tahu meski belum baca.
Meski mungkin hanya sekilas atau dari cerita orang, tetapi satu hal itu bikin saya senang sekali.
GR malah.

Saat itu, Mas Hilman sedang merintis juga sebuah tabloid remaja berjudul “Tabloid Gaul”.
Di tabloid ini, dia memberi kesempatan pada saya untuk bisa menuliskan mini novel.
Hihi… Kala itu saya bingung banget dengan istilah itu, diminta buat novel, tapi mini?
“Kayak teenlit gitu deh… Tapi, 30 halaman A4 aja ya… Buat bonus selipan di Tabloid Gaul.”
Ah, ya…
Saya pun ngebut bikin pesanan tersebut. Kebetulan ada ide yang memang sedang bergejolak di kepala.
Jadilah novelet atau novel mini “Jangan Pernah Berhenti Jadi Kakak Iparku.
Tanggal 25 April 2003 saya kirim lewat email, tanggal 8 Mei 2003 sudah terbit.
UWOW….

Saya lupa honornya berapa karena lebih saking senangnya, bisa menyumbang karya dalam tabloid yang dikelola Mas Hilman itu.
“Nanti bikin lagi ya… Kasih selang berapa waktu gitu deh…,” pesannya.
Sayangnya habis itu malah saya yang sok sibuk, nggak bisa kirim karya lagi ke tabloid itu malah sampai tabloid itu tutup, tidak terbit lagi.

Kejadian lain yang saya lupa awalnya gimana, ketika novel pertama saya, beraja biarkan ku mencinta, mau dicoba disinetronkan di Indosiar. Saat itu Mas Hilman kerja di sana.
Saya diminta untuk datang ke studio yang pernah saya datangi sekitar tahun 1996 lalu. Wah, kesempatan nih bisa bertemu Mas Hilman lagi. Apalagi sebelumnya sudah janjian dulu lewat SMS.

“Kalau di Bandung itu, aku suka beli sale pisang dan tempe keju Snack Corner yang di Jalan Otten,” katanya.

Zaman segitu, tempat jual oleh-oleh Bandung belum banyak. Paling di sekitar terminal atau Pasar Baru. Tempat yang Mas Hilman sebut itu, asing banget.
Ternyata ada di Jl. Otten Bandung. 
Sebab sudah banyak memberi kesempatan juga, maka sengaja saya belikan makanan yang menjadi kesukaannya itu meski nggak bisa banyak. Hihi… Sori ya Mas Hil… Saat itu memang kebutuhan saya sedang banyak. Jadi kudu pintar-pintar bagi. Apalagi harus ke Indosiar juga buat urusan sinetron buku itu.

Cuma… Sejak saat itu, saya malah yang suka juga dengan makanan khas olek-oleh Bandung itu haha
Kalau ada kesempatan, sesekali saya juga kirim makanan itu ke Mas Hilman via kantornya. Sejak saat itulah persahabatan kami berlanjut baik.
Nggak pernah menyangka sama sekali bahwa saya bisa bersahabat baik dengan orang setenar dia.
Idola dari masa remaja.
Sesuatu banget sekali….
(bersambung)

3 Comments

  1. Dea nggak pernah kenal Mas Hilman secara personal. Tapi semua eulogi yang Dea baca dari orang-orang yang kenal dia konsisten. Orangnya friendly, positive thinking, perhatian, dan ngehargain siapa aja. You are so lucky, Mbak Anjar.

    Dea fans Lupus. Baca Lupus taun 80an tapi bacanya taun 90an pas SD, punyanya kakak sepupu (taun 80an kumasih kecil banget). Cerita Lupus sepanjang waktu bakal jadi penanda masa yang diinget…

    RIP Mas Hilman Hariwijaya.

    Disukai oleh 1 orang

Kesan Anda