Terbang Tinggilah, Nak…

Terbanglah Tinggi, Anak-anakku….

Sebenarnya siapa pun yang pernah saya damping di Gema adalah “anak-anak” saya. Walau sampai sekarang mereka tetap memanggil saya “Mbak”, tetapi mereka juga saya anggap sebagai anak. Maka jangan kaget kalau saya bisa berlaku sebagai “Ibu” buat mereka.

Ada banyak kisah indah bersama mereka.
Banyak sekali.

Kadang saya sampai lupa karena banyak banget

Tapi, diantara kisah itu, setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, dua kisah ini adalah kisah yang bisa saya bagi. Bukan sekadar sebagai cerita biasa. Tapi… Berharap bisa menjadi motivasi “anak-anak” saya yang lain agar berani dan mau mencapai cita-cita sampai yang paling tinggi segimana pun kayaknya susah.

Cerita pertama tentang kisah pemuda yang awalnya menyebut dirinya dengan “Cek Erick”.

Konon panggilan itu dia dapat sejak SMA.

Saya lupa gimana kami pertama bertemu. Yang jelas kemudian dia sering wara wiri dan aktif di Gereja Mahasiswa Katolik Bandung. Awalnya sebagai panitia dan bantu-bantu kegiatan yang ada. Tapi, akhirnya dia mau jadi pengurus, yaitu sebagai bendahara

Mungkin karena saya sering juga memposisikan sebagai teman dan kakak, maka segala cerita kami bisa nyambung dan saling menguatkan. Jika ada waktu kami pun sering makan atau jalan bareng.

Hingga pernah kejadian, saat jalan di sebuah supermarket, Erick bertemu teman lamanya. Saya sengaja menjauh dulu, memberi waktu mereka ngobrol.  

Saat Erick mau pulang, temannya bertanya yang saya dengar “Mamanya kemana tadi?”

Saya mau ngekek nggak enak. Erick pun juga kagok.

Maka sejak hari itu, jadilah dia anak kedua saya. Yang pertama sudah bekerja di luar Bandung soalnya haha…

Dari semua hari-hari berat yang pernah dilewati Erick selain saat papanya berpulang adalah saat dia berbulat tekad hendak ingin pergi ke Jepang sampai niat kursus Bahasa Jepang hingga selesai, ternyata terhalang kondisi pandemi dan dia sendiri juga kena.

Banyak sesal dan kecewa menyeliputinya.

Beruntungnnya dia dikelilingi orang yang selalu mendukung dan support dia. Walau tentu ada “drama” yang menyertai, tapi Erick bisa melalui itu semua dng baik.

Obsesi bisa ke Jepang pun tidak luntur. Maka ia terus berusaha mewujudkan itu.

Erick sendiri bukan dari keluarga yang saling mendukung dan memberi semangat.

Selepas papanya berpulang, dia seperti kehilangan pegangan. Meski masih ada mamanya, dia malah tidak menemukan penguatan itu. Tidak jarang dengan mamanya, Erick malah sering berbeda pendapat.

Sekuatnya Erick mau mencoba berdiri di kaki sendiri, ada satu titik akhirnya kerapuhan itu meluruhkan pertahanannya juga. Saya sebagai orang luar yang kebetulan diperkenankan hadir di sebagian hidupnya cuma bisa mencoba mendampingi dan menemani saja.

Tapi…. Jangan sebut Erick kalau karena kerapuhan itu menghapus obsesi lamanya.

Tidak.

Justru itu yang menguatkan dia untuk terus berusaha.

Dari banyak jalan, berliku, berbatu, bahkan jauh sekali pun. Dia mau wujudkan mimpinya.

Hingga 11 Januari lalu, tiket terbang menuju matahari terbit, sudah di tangan.

Dengan tidak lupa disertai doa serta restu dari banyak orang yang mengasihinya, Erick memantapkan langkah menuju Negeri Sakura.

Cerita kedua tentang King Kin, Perempuan muda “titipan” dua orang Romo yang saya hormati.

Suatu malam di bulan Desember 2020, seorang Romo menelepon saya, menceritakan maksudnya. Karena data yang mau diceritakan dan terputus sebab kesibukan natal dan akhir tahun, Januari 2021 beliau resmi “menitipkan” seorang umatnya yang sedang kuliah di Unpar dan sudah di Bandung sebab semester baru yang akan dimulai bakal tatap muka.

Begitu disebutkan demikian, yang terlintas adalah apakah saya mampu menerima amanah titipan ini? Rada berat dari sekadar mendampingi adik-adik mahasiswa lainnya yang ada di Gema…

Singkat cerita, saya akhirnya bisa bertemu King Kin. Mendengar sendiri cerita perjuangan dia dan nenek (alm) yang sudah dia anggap sebagai ibu. Tentang cita-citanya agar bisa memperbaiki harkat martabat keluarga

Bersama itu pula beberapa teman, atas dasar percaya sebab waktu itu belum kenal King Kin, bersedia membantu dia.

Tanpa pamrih dan bersedia sampai King Kin selesai kuliah.

Saya pun mengabari kondisi tersebut kepada pimpinan saya dan diberi sinyal positif. King Kin pun bisa menjalani kuliah dengan baik.

Walau hidupnya relatif aman dan baik, tapi naik turun urusan kuliahnya sempat membuat King Kin putus asa. Sebagai anak Rantau yang tidak punya siapa-siapa, gadis ini tidak jarang mempertanyakan apakah dia masih tetap boleh meneruskan kuliah atau tidak? Kenapa ada saja masalah menimpanya sehingga membuat dia tidak bisa nyaman lagi menjalani kuliah?

Sang Maha melalui semesta dan sesama rupanya punya maksud lain.

Hidup King Kin yang mungkin tidak seberuntung yang lain, pelan-pelan diberi jalan agar cita-cita awal bisa terwujud. Tidak peduli saat sempat di kos lamanya banyak terserang covid (Puji Tuhan dia nggak kena), relasi dengan temannya naik turun, nenek terkasihnya berpulang bahkan kemalingan laptop saat nyusun laporan akhir. Semua bisa dilalui dengan baik.

Bahwa dia sempat tidak sabaran atau merasa lelah, terbayar lunas dengan langsung diterimanya dia bekerja di sebuah lawfirm, tanpa harus menunggu lama-lama bahkan sebelum wisuda.

Selesai UAS terakhir, King Kin meninggalkan kota Bandung, tempatnya mengejar cita selama 3,5 tahun untuk meneruskan asa hidupnya…

Dua anak saya itu punya cerita dan jalan hidup masing-masing.

Tapi, intinya sama, bahwa kekuatan diri dan doa tak putus adalah modal kuat mencapai semua mimpi yang ingin diwujudkan.

Terbang tinggilah, anak-anakku… Jangan ragu dengan semua kemampuan dan kekuatanmu.

Istirahatlah bila kau lelah.

Setelah itu, kembalilah melangkah.

Dengan pasti.

Ada doa untuk suksesmu seterusnya dariku.

Tetap jaga diri

Jaga hati.

Jaga nama baik.

Kesan Anda