Cerpen: Kenangan Mantan

(sudah dimuat di Majalah Hidup, 20 Agustus 2023)

Aku menarik nafas panjang begitu kaki bisa ke tempat ini. Tempat yang dari masa Djaya bersekolah dari SD adalah cita-citanya. Kekuatan niat, doa serta Rahmat Allah saja yang bisa membawaku dan Djaya kemari.

“Silahkan Bapak, Ibu dan para novis memasuki ruang aula untuk bisa saling bertemu dengan yang lainnya,” sambut ramah Romo Max, selaku pembimbing di sana.

Ya, anakku Djaya mulai hari ini akan menjadi seorang novis dan masuk dalam proses pendidikan sebagai imam dalam kurun waktu tertentu. Ada haru dan bangga, Djaya bisa mewujudkan mimpinya itu.

Walau dia anak pertama laki-laki, begitu Djaya  mengutarakan cita-citanya saat masih SD dulu itu, aku dan ibunya langsung setuju. Kami sangat mendukung apa yang diinginkannya itu. Bahkan selepas SMP, kami menyarankan dia untuk masuk Seminari Menengah saja sebagai persiapan.

Selepas seminari, Djaya mantap menentukan di biara mana dia akan meneruskan cita-citanya. Kami semakin mendukung. Lahir batin.

“Titip Djaya selama di sini Romo,” pesanku pada Romo Max sesaat mengantarkan Djaya dan acara ramah tamah selesai.

“Semoga rahmat Allah menyertainya dan kami ya, Pak… Bu… Sehingga Djaya juga bisa mengikuti semua proses dengan baik,” jawab Romo Max sembari tersenyum.

Kami pun mempercayakan semua proses kepada Romo Max dan tim. Semoga dilancarkan semua.

^^^^^

Notifikasi dari medsosku menandakan ada sebuah pesan DM masuk.

Dari Nadya.

Hmm…

Sudah lama dia tidak berkontak. Mengapa tiba-tiba berkontak ya?

“Pasti kaget ya tiba-tiba aku bisa tahu IGmu? Hehe…” Nadya seperti tahu kekagetanku. “Anakku yang terkecil retret lalu berkenalan dengan yang namanya Frater Djaya. Mereka ngobrol lalu tukeran akun IGnya. Biar masih SD, anak sekarang kan mainannya media sosial satu itu hehe…. Nah, selesai retret anakku menunjukkan siapa Frater Djaya itu. Setelah kutelusuri ternyata anakmu tho…. (emoji tersenyum lebar dan terberkati)

Oalah… Ternyata ketidaksengajaan yang membuat Nadya menghubungiku lagi…

“Iya… Anak pertamaku terpanggil untuk jadi seorang imam. Jadi sekarang sedang menjalani pendidikannya,” jawabku dengan hati lega, kecurigaan yang mendadak hinggap di kepala tidak terbukti.

Maka setelahnya, aku tidak sungkan memberi nomor HP, agar bisa meneruskan obrolan lewat WA atau sesekali menelepon jika perlu.

Nadya bagiku adalah bagian dari masa lalu.

Saat aku terpuruk, tak lama ketika memutuskan untuk re-sign, Nadya adalah salah satu orang yang bisa menguatkanku. Dengan caranya ia mampu membuatku kuat berdiri dalam kehidupan baru.

Kedekatanku dengan Nadya memang sedari sebelum keputusan re-sign itu maka kasak kusuk yang sempat kudengar, alasanku untuk berhenti adalah demi dia. Padahal walau kami sama-sama tahu menyimpan rasa yang sama, kami tidak mungkin bisa bersama.

Kami memutuskan untuk tetap bersahabat baik meski jarak dan waktu memang sempat memisahkan kami terutama saat kami menemukan kebahagiaan dan kesibukan masing-masing.

Namun, harus kuakui…, sapanya di IG kala itu, sungguh membawa aku ngelangut jauh… Berkelana menuju masa sekian tahun lalu.

Aaahhh….

^^^^^

Sudah dua minggu ini, tidak ada berita terkini tentang para novis yang biasanya diupdate oleh para Romo, terutama Romo Max sebagai Magister Novisiat di sana. Paling hanya ungkapan salam dan petikan renungan harian.

Setelah itu tidak ada lagi yang lebih spesifik tentang para novisiat.

Jika ada yang bertanya, Romo Max hanya menjawab secara umum saja yang menyatakan anak-anak kami yang dititipkan di sana baik-baik saja dan sedang menjalani masa silensium untuk persiapan proses selanjutnya.

Memang sudah ada kesepakatan bahwa para novis tidak boleh memiliki HP untuk berkomunikasi atau bermedsos. Kalau sekadar berinternet, mereka diperkenankan menggunakan komputer dalam jam tertentu.

Sudah zaman modern, masih ada juga aturan konvensional begini ya…

“Bapak ini kayak nggak tahu aja lho maksud dan tujuan aturan itu dibuat. Lagian kan juga sudah disepakati bersama,” komentar istriku santai sembari duduk di sebelahku.

“Ya, namanya juga orang tua. Bu… Sama saja tho kita?” belaku sembari masih terus membaca berita di grup WA orang tua novis.

Sepandurat mataku melihat notifikasi chat baru Nadya. Spontan ku melirik sebelahku yang rupanya sedang membaca di gawainya juga. Antara ingin membuka WA itu, tapi tidak enak juga. Biar gimana, aku tetap harus menjaga perasaan istriku meski ku yakin, istriku bukan tipe pencemburu.

“Tuh, Pak… Panjang umur… Ada kabar dari Romo Max,” istriku sumringah memberitahu ada kabar baru di grup.

“Bapak, Ibu, orang tua dari para novis. Kami hendak mengabarkan tentang kondisi dari para novis yang mungkin sudah lama ditunggu,” tulis Romo Max.

“Selain berita di atas, kami juga hendak memberitahu bahwa para novis akan pindah biara ke rumah yang dekat dengan kampusnya. Diharapkan mereka bisa lebih giat dan konsen lagi mengingat mereka sudah mahasiswa lanjut. Maka kurang lebih selama dua minggu ini kami sedang mempersiapkan mereka. Untuk kepindahan mereka, kami hendak mengundang Bapak, Ibu sekalian untuk bisa bersama mengantarkan ke tempat yang baru.”

Senyumku langsung berkembang.

Terjawab sudah yang menjadi kegelisahanku. Kelegaan langsung memenuhi jiwa ragaku. Demikian juga istriku. Dia berulang kali mengucap syukur.

Tiba-tiba, sekali lagi, ada notifikasi chat masuk.

Dari Nadya lagi…

Ah.., kenapa banyak dapat kejutan begini?

^^^^^

Menelusuri biara ini lagi, seperti membawaku déjà vu.

Senyumku berkembang akhirnya bisa kembali ke sini. Tempat yang bahkan sudah kukenal sejak aku lulus SMA dulu. Bapak dan Om sering membawaku ukemari.

“Bapak, Ibu sekalian…, Bapak, Ibu diperbolehkan masuk ke kamar anak-anaknya untuk membantu membereskan barang-barang mereka. Tapi, hanya sepuluh menit saja karena setelah itu kita akan bertemu di ruang kelas lagi,” demikian sambutan dan persilahkan dari Romo Max. Tentu saja, tanpa menghabiskan banyak waktu para orang tua yang sengaja hendak mengantarkan anak-anaknya ini langsung menuju kamar masing-masing anaknya.

Tak terkecuali aku dan istri.

Sehari cutiku ini memang kukhusukan untuk mengantarkan Djaya ke tempat ini.

Begitu masuk kamar Djaya, bau kamar ini seperti sangat lekat di hidungku hingga aku pun sangat menikmatinya. Ngelangut yang sempat hilang, kembali menyergap. Apalagi ketika sengaja jendela terbuka lebar lalu memperlihatkan halaman luas bagian tengah biara.

Kepala seperti membawaku pada suatu masa kembali.

Aku berdiri di ujung jendela membiarkan mata mengulas sudut-sudut biara yang terlihat.

Sepandurat telingaku seperti mendengar suara khas Firdaus saat bermain voli. Nyaring sekali. Tak lama, terdengar tawa teman yang lain.

Gusti… Aku déjà vu akut…

Tapi, mengapa aku tak hendak beranjak?

“Bapak, Ibu sudah sepuluh menit. Kami tunggu di ruang kelas.” Suara Romo Max membuyarkan anganku sekaligus menyadarkan kami semua untuk segera keluar. Meski istriku rada ngomel sebab belum selesai. Apa boleh buat. Biar Djaya saja nanti selesaikan.

“Maaf, Pak Dede… Saya hendak menunjukkan sesuatu,” ujar Romo Max sambil menutup pintu kamar. Aku menghentikan langkah dan memberi kode agar istri dan Djaya duluan saja. “Sewaktu Djaya mendapat kamar ini, dia minta izin untuk menuliskan namanya di kamar ini dengan huruf DD. Katanya singkatan dari namanya, Dominikus Djaya sekaligus kalau dibaca adalah nama bapaknya, DeDe…”

Aku terhenyak. Mataku menatap ada tulisan nama itu di depan pintu kamar ini.

“Kata Romo Firdaus, kamar ini juga pernah dihuni oleh Pak Dede sebelum Bapak memutuskan tidak melanjutkan hidup membiara. Semoga spirit baik Bapak selama di sini bisa menemani hari-hari Djaya…”

Jantungku berdegup lebih kencang terutama setelah kuperhatikan lagi kamar yang kini bakal dihuni Djaya.

Betul… Ini kamar yang pernah kuhuni. Padahal tadi kukira malah kamar nomor dua setelah yang paling ujung itu.

“Saya juga sebenarnya masih saudara jauh Mbak Nadya. Katanya beliau tahu dan kenal Bapak termasuk perjuangan Bapak dari masih di dalam sampai resign.” Romo Max bercerita sambil tersenyum. Aku pun jadi terpancing untuk turut tersenyum. “Mbak Nadya sempet nitip Djaya ke saya juga supaya bisa membantu mencapai cita-cita Djaya menjadi seorang Romo…”

Oh God

KejutanMu beberapa waktui ini luar biasa…. Bukan saja membukakan semua kenangan lama itu. Namun, juga membukakan mataku bahwa anakku, Dominikus Djaya bersama orang-orang yang akan selalu mendukungya.

Tidak peduli pada masa lalu Bapaknya…

^^^^^

Kesan Anda