Salam Tempel

Lebaran itu sebenarnya adalah hari yang saya tunggu.

Kenapa?

Bukan saja karena bisa menikmati opor dan kawan-kawannya, tetapi juga bisa jadi alasan kuat saya untuk bisa ke rumah kakak sepupu yang sudah saya anggap sebagai kakak kandung sendiri. Bertemu kakak dan keluarganya adalah sesuatu yang memberi energi tersendiri. Saya jadi selalu merasa punya keluarga terutama seorang kakak. Sebagai seorang anak tunggal dan yatim piatu, situasi bersama sebuah keluarga begini adalah kebahagiaan tersendiri.

Sungguh sangat saya syukuri.

Selain berkumpul dengan keluarga dekat itu, lebaran juga sering menjadikan saya belajar tentang sesuatu yang selama ini bukan menjadi tradisi di keluarga kandung. Sesuatu itu adalah “salam tempel” alias berbagi sejumlah uang untuk anggota keluarga yang datang.

Kenapa bukan tradisi? Karena ibu saya tidak membiasakan kepala saya berpikir atau bahkan menganggap bahwa kalau bersilahturahmi di hari lebaran itu = dapat salam tempel. Dengan caranya, sejak saya kecil, Ibu tidak pernah meminta saya untuk merayu saudara yang lebih tua supaya dapat salam tempel atau saat ada yang meminta anak-anak mengantri saat pembagian amplop per amplop, saya dipaksa-paksa ikut antri. Malah lebih seringnya kami permisi pulang.

Apakah saya kecewa?

Karena masih kecil, jadi nggak kepikiran. Menurut saja dengan apa kata kedua orang tua. Saat besar, saya baru ngerti apa maksud Ibu membuat kepala saya supaya nggak punya pikiran bahwa lebaran = salam tempel.

Bukan berarti kalau ada yang memberi lalu ditolak ya… Kalau diberi, tentu diterima. Seperti kalau saya lebaran ke kakak saya itu, ada kok selipan rupiah di tangan, “Buat ganti ongkos,” kata si kakak. Kebetulan rumah kakak memang lumayan jauh.

Saya melihat, dengan tidak dibiasakan mengharap diberi salam tempel itu, Ibu ingin berpesan tentang makna sebuah pemberian dari seseorang, dalam hal ini pemberian uang. Selain memang baik digunakan untuk tambahan kebutuhan atau tabungan, juga menjadi contoh kapan dan kepada siapa kita bisa berbagi kepada yang lain.

Salam tempel atau berbagi rezeki kepadda orang lain pada akhirnya harus menghadirkan syukur, terima kasih serta tidak menjadi pengharapan agar dikasih terus. Apalagi sengaja sering mendatangi yang memberi dengan maksud tersebut.

Sementara kalau di pihak yang mendapat rezeki lebih, saya diingatkan juga untuk melihat kondisi orang tersebut. Siapa dia yang mau diberi, apakah benar butuh dan tepatkah saat itu untuk dibantu?

Ini bukan soal ketulusan atau pamrih.

Bukan.

Tapi, ini juga soal membantu mental yang menerima dan diberi.

Kalau yang menerima tidak bertanggunngjawab, kita meninggalkan hal buruk kepadanya. Sementara saat kita yang memberi pun harus memperhitungkan posisi kita sendiri, setelahnya tidak menjadikan diri sendiri malah bermasalah.

Saya amat bersyukur ada di posis keduanyai itu. Setidaknya menjadi jembatan kala ada yang mamu membantu, tetapi butuh disalurkan karena alasan pribadi.

Dan, saya juga berharap, yang dibantu bisa bertanggungjawab atas apa yang diberi. Bisa mengira-ngira dengan baik agar dana itu bisa membantu hidupnya. Bukan sekali dapat hilang lalu mencari-cari lagi. (anj 2024)

Kesan Anda