Tuan Hamba Uang (1)

Ilustrasi tukang obat dari https://c8.alamy.com/compfr/

I.

Tidurnya tidak nyenyak. Gelisah seperti dilempar-lempar.

Malam serasa panjang, tak bisa ditahan. Padahal keringat sudah mulai keluar tak tertahan. Tubuh pun laksana diikat, tak mampu bergerak. Hanya sesekali saja ia seperti hendak meraung keluar dari sebuah ruangan, tapi tetap tak mampu untuk melepas badan.

“Kamu harusnya bisa menjadi kaya lebih dari sekarang,” bisikan itu mengganggu lagi di telinganya. Suara itu masih keras-keras serak seperti biasa.

Matanya setengah terbuka, ia melihat sekelebat bayangan hitam. Melintas seperti terbang. Ada sosok laki-laki bermata cekung dengan lingkaran hitam di luar dua matanya, lalu seperti memancarkan kilatan api yang hendak menyambar apa saja.

Seram.

Tak ayal, pemandangan ini menakutkannya.

Selimut segera ia tarik kembali dengan cepat. Bukan untuk menghangatkan badan dari udara dingin dari luar, tapi untuk sekadar berlindung dari ketakutan atas sosok yang rasanya tak hendak pergi itu. Dia tak ingin melihat wajah nan menyeramkan yang masih seperti mendekati, mengejek tak mau pergi.

“Kamu ingin aku pergi?” suara serak itu kembali terdengar. “Aku akan pergi kalau kamu mau berjanji.”

“Berjanji? Berjanji apa?” ia bertanya sambil gemetaran. Gemeretak giginya mulai terdengar.

“Berjanji bahwa kali ini kamu akan menurut padaku,” sosok itu bersuara lebih keras dan dengan menekankan kalimat terakhir.

“Tttuuu-aann… mm-aa-uu aa-pp-aa dd-aa-rrii-ku??” ia kian gemetaran. Gemeretak gigi begitu terdengar, memecah kesunyian malam. Selimutnya dirasa ada yang menarik sehingga tidak menyelimuti tubuhnya lagi. Ia masih berusaha menarik kembali, ternyata tak mampu juga menahan, bayang itu kian kuat menarik selimut seperti tak mau selimut menutupi wajah yang sedang ketakutan itu. Bahkan sekonyong-konyong tangannya seperti ada yang memegangi sehingga ia tidak bisa menutupi muka supaya tidak melihat sosok hitam dengan tatapan mengerikan itu.

Sosok hitam besar itu terbang, menyelinap pelan-pelan.

Dan, tiba-tiba saja, sosok itu sudah ada di hadapan wajahnya persis. Membuatnya kaget bukan kepalang. Sempat ia memundurkan wajah, tapi tidak bisa karena seperti ada yang kuat menopang.

“Beberapa hari lagi, aku punya rencana. Kamu harus patuh. Patuh! Jika tidak… Kamu tahu sendiri akibatnya… Hahahahaha…” Suaranya begitu menggelegar lalu pelan-pelan hilang, entah ke mana.

Tinggal ia yang masih mengerjap-ngerjapkan mata, tetap belum percaya.

Malam di luar masih menerapkan gelapnya.

Mereka mengenalnya sebagai Bang Khery.

Secara fisik, orangnya biasa saja, tidak terlihat sosok angker atau menyeramkan. Tapi, memang wajahnya yang terlihat tegas kadang membuat orang lain sungkan untuk menegurnya.

Dia jarang tersenyum. Rambutnya agak ikal dengan sesekali terlihat jenggot tebal di pipi kanan-kirinya. Suaranya juga seperti orang tertahan bicara. Mungkin ini juga yang membuat orang lain sungkan untuk mendekatinya.

Konon, Bang Khery berasal dari Geriyot, sebuah daerah yang cukup jauh. Ia bisa sampai di Syolem karena mengikuti Tizha, seorang tabib dan tukang obat. Tizha ini memang sudah dikenal di mana-mana sebagai pengobat yang ulung. Apalagi obat-obatan yang ditawarkan pun murah, berasal dari alam sekitar.

Bang Khery adalah salah satu kepercayaan Tizha. Ia dipercaya memegang keuangan dari hasil sumbangan atau donasi yang berhubungan dengan komunitas mereka. Ada yang lain juga yang membantu Tizha. Mereka memiliki tugas sendiri-sendiri.

Posisi Bang Khery tidak membuat yang lain iri. Mereka sadar, menjadi bendahara itu tidak mudah. Apalagi saat memegang duit banyak.

Padahal ada yang bilang kalau Bang Khery dulunya adalah seorang pencuri di pasar di kota dekat situ. Cara mencurinya memang tidak kelihatan orang, tetapi lama-lama ketahuan juga karena barang yang dia ambil habis. Kala itu, dia tidak bisa mengelak lagi. Meski pada kejadian sebelumnya, Bang Khery bisa berkelit.

Tapi, ada juga yang bilang dia adalah seorang kasir dari salah satu toko di pasar itu. Toko yang dia tunggui sering didatangi pembeli. Barang banyak yang cepat habis, sebab laris manis. Pemilik toko tidak menaruh curiga sedikit pun. Apalagi Bang Khery sering memberi sumbangan kepada yang membutuhkan dengan menyisihkan gaji atau bonus dari hasil pekerjaannya. Orang-orang jadi punya kesan baik dan mendukung atas apa pun yang dilakukannya.

Ketika segala berita itu beredar, sebenarnya Bang Khery memang sudah tidak bekerja di sana. Dia memilih untuk keluar dari kota tinggalnya, merantau ke tempat lain. Di kota barunya itu dia sempat lontang-lantung juga. Mencoba beberapa pekerjaan, dari yang biasa saja atau pekerjaan kasar seperti menjadi tukang batu sampai akhirnya bertemu Tizha, tabib yang sudah terkenal di kota Syolem.

Awal dirinya mengikuti Tizha pun karena ingin membantu saja, sebab melihat pembantu Tizha saat itu kewalahan menerima pendaftaran. Bang Khery spontan membantu, yang kebetulan dilihat Tizha yang baru saja mengobati pasiennya. Jadilah Bang Khery ditawari kerja bersama beberapa yang lain. Kebetulan sekali karyawan Tizha memang banyak yang baru, sebab ada beberapa yang memilih pulang kampung setelah sekian lama membantu Tizha.

“Kalau kamu bergabung denganku, aku membutuhkan karyawan yang bisa bekerja sepertimu,” ujar Tizha saat itu.

Bang Khery yang sedang membantu mengecek nama dan uang pendaftaran yang hari itu masuk, terkejut mendengar tawaran itu. Dia sempat bengong sejenak, tidak bisa langsung menjawab.

Tizha menepuk bahu Bang Khery. “Selesaikan dulu pekerjaanmu. Setelahnya, kamu bisa menemuiku di dalam.” Tak lama Tizha masuk kembali ke dalam, meneruskan mengobati pasien yang sudah lama menunggu.

Butuh sehari Bang Khery berpikir untuk menerima tawaran kerja.

Akhirnya Bang Khery menyanggupi dan menerima tawaran kerja dari Tizha. Hari itu juga dia bekerja dan ditugaskan untuk bertanggung jawab pada keuangan yang ada di kelompok pengobatan itu.

***

Ada sedikit keramaian di depan pintu masuk rumah berobat tabib Tizha.

Bang Khery yang baru selesai mandi segera menuju ke depan dan memastikan apa yang terjadi.

“Ada apa ini, pagi-pagi ribut?” tanya Bang Khery, masuk ke dalam kerumunan warga.

“Ini, Bang… Mirina, dari Benara, ingin bertemu Tizha. Padahal kita belum buka. Katanya dia sudah semalaman sengaja menginap di depan rumah supaya bisa duluan bertemu Tizha,” ujar salah satu orang yang sedang menuding-nuding seorang perempuan yang tengah mereka kelilingi.

Bang Khery penasaran. Dia sengaja meminggirkan beberapa orang di sekitar Mirina supaya bisa jelas melihat wajah perempuan itu.

“Benar yang dibilang orang itu?”

“Be-be-be-benar, Bang…” jawab perempuan itu sambil menunduk. Mungkin takut di hadapan orang kepercayaan Tizha ini.

“Benar kamu menginap di depan rumah ini supaya bisa duluan bertemu Tizha?”

“I-i-i-iya, Bang…” Perempuan itu mulai berani memandang sebentar Bang Khery.

“Mau apa bertemu Tizha?”

“Saya cuma ingin Tizha membantu kakak saya yang sedang sakit, Bang…”

“Mana kakakmu? Sepertinya kamu sendiri ke sini?”

“Dia masih di rumah, Bang. Dia tidak bisa ke mana-mana sebab sakitnya itu. Maka saya ingin bicara dengan Tizha tentang sakit kakak saya.”

Sejenak Bang Khery memandang perempuan itu. Dia setengah tidak percaya. Tapi, perempuan dari desa nun di sana rasanya mustahil juga kalau berbohong. Dari wajah dan gerak tubuh tidak mendukung jika memang dia mau berbohong.

Semenit kemudian Bang Khery memberi kode kepada perempuan itu agar tetap di tempat. Dia masuk ke dalam dulu.

Pagi di luar belum sepenuhnya merekah. Orang-orang juga masih ada yang belum hendak beranjak. Meski begitu, derap keramaian kegiatan baru mulai menggeliat.

Di ruang tamu, Tizha sudah mengawali hari dengan minum kopi. Wajahnya yang segar menunjukkan bahwa dia sudah mandi.

Kebiasaan Tizha sebelum melakukan semua itu, begitu terbangun dari tidur malamnya, dia pasti akan bermeditasi dulu. Cukup lama. Sekitar sejam.

Meditasinya pun tidak seperti kebanyakan orang.

Biasanya dia akan membuka jendela kamar lebar-lebar lalu membiarkan matanya menatap ke depan lama. Setelah itu dia baru keluar kamar, duduk di balai-balai, menunduk sebentar, dan kembali menatap alam di hadapannya dengan pandangan seperti menyapu semua yang terlihat.

Sesekali terdengar ia menarik napas panjang seraya tersenyum lebar. Ia lakukan ini berulang kali dengan jarak waktu tertentu.

Yang unik dari caranya ini, entah mengapa, sering kali mendatangkan burung atau serangga kecil menghampiri, seperti hendak menemani. Mereka tidak lebih dekat atau menyentuh bagian tubuh Tizha sehingga bisa mengganggu meditasinya. Para binatang itu memberi jarak saat mendekat. Salah satu kode bahwa mereka datang serta sepertinya ikut bermeditasi, menemani, adalah kala terdengar kicauan burung bersahutan merdu dari arah balai-balai depan kamar Tizha. Semua penghuni rumah ini sudah hafal, itu berarti Tizha sudah bangun dan sedang bermeditasi.

Maka, kalau sekarang Tizha sudah terlihat ngopi di meja makan ini, itu berarti dia juga sudah siap memulai hari dengan menyambut para pasiennya.

“Ada yang sudah menungguku, Khery?” tanya Tizha seolah tahu apa yang hendak disampaikan Bang Khery di hadapannya.

“Iya, Tizha…” jawab Bang Khery, sedikit membungkuk. “Mirina namanya. Katanya dia butuh bantuan Tizha untuk mengobati kakaknya yang sakit.”

Tizha terdiam, lalu berdiri.

Langkahnya agak pelan menuju ke depan. Begitu sampai di depan pintu, segera dibukanya pintu itu.

Orang-orang yang persis ada di depan pintu kaget. Mereka segera berhenti berkerumun dan mulai berdesakan hendak dulu-duluan bertemu Tizha. Untung Sam dan Dera sigap. Mereka segera memberi batas agar orang-orang itu tidak begitu saja maju dan berdesak-desakan tidak beraturan.

Mata Tizha menatap semua orang yang sudah menunggunya.

Tak lama, matanya segera menangkap mata penuh harap seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dari posisinya sekarang. Mereka sempat beradu mata, lalu Tizha menganggukkan kepala. Tangannya menunjuk kepada perempuan itu dan memintanya untuk mendekat.

“Di mana rumahmu?” tanya Tizha.

“Di Benara, Tuan…” jawab Mirina di telinga Tizha.

Tizha menganggukkan kepala, lalu memanggil Myenthi dan Bang Khery. “Kita ke Benara dulu hari ini. Tolong disiapkan.”

“Tapi Tuan… Benara itu tempat berbahaya. Banyak orang tak suka pada pekerjaan Tuan, bukan?” Bang Khery mengingatkan.

Kepala Tizha bergeleng pelan. “Tidak apa. Kita berangkat bertiga saja dengan Mirina dan tidak menginap.”

Bang Khery tidak bisa menolak. Dia segera masuk ke dalam dan menyiapkan segala sesuatunya. Sementara itu, Mytha mencoba menenangkan pasien lain dan menyatakan sementara Tizha harus ke luar dulu sebelum membuka praktik hari ini.

Ada banyak suara protes begitu diumumkan demikian.

Tapi, mereka juga tidak bisa berbuat banyak, sebab memang tak lama setelah itu, Tizha, Bang Khery, Sena, dan Mirina sudah pergi menuju Benara.

Benara sendiri sebenarnya kota kecil. Jarak dari lokasi tempat Tizha tinggal saat ini tidak terlalu jauh. Mungkin butuh waktu perjalanan sekitar dua jam saja. Karena alat transportasi masih jarang, bisa jadi perjalanan bisa ditempuh lebih dari waktu perkiraan biasa.

Namun, itu tidak menghalangi Tizha buat menuju kota Benara.

Meski harus berjalan kaki untuk menempuh jalan tembus menuju jalan raya, rombongan kecil Tizha itu terus saja menelusuri jalan hingga sampai di tujuan.

Di rumah sederhana yang terbuat dari tembok dan belum dicat, terbaring kakak tertua Mirina, Lawson, yang sedang ditemani Merna.

Saat mereka datang, nampak Merna sedang menangis tersedu-sedu, sebab saudaranya Lawson sudah tidak berdaya. Sepeninggal Mirina, rupanya saudara mereka itu semakin menurun kondisinya.

Segera saja Tizha mendekati Lawson dan memeriksa kondisinya.

“Selamatkan kakak saya, Tuan… Kami sudah tidak tahu harus bagaimana lagi,” suara serak Merna menggugah haru Tizha.

Tizha terus berusaha melakukan beberapa hal yang berhubungan dengan pengobatan yang biasa dia lakukan. Dibantu Bang Khery, Tizha tekun melakukan sesuatu untuk mengobati laki-laki seumuran dengannya itu.

Diiringi tangis Merna yang tidak berhenti juga, sesekali Tizha seperti menghapus tetes air mata yang diam-diam jatuh di sudut matanya. Rupanya Tizha merasakan bagaimana rasa yang dialami kakak beradik itu. Dia tahu betapa tidak menyenangkannya harus berhadapan dengan sebuah sakit yang tiada kunjung sembuh meski segala cara sudah dicoba untuk dicari.

Mungkin karena hal itulah, Tizha mendedikasikan hidupnya buat mengobati orang-orang. Dia sejak lahir sudah diberi karunia bisa menyembuhkan dan membantu sesama. Tidak aneh jika setelah dewasa kemampuan itu semakin menguatkan niatnya buat selalu mengembangkan diri demi misinya membantu sesama umat manusia.

Cara penyembuhannya yang mengandalkan alam sekitar, tidak menggunakan bahan kimia, seringkali membuat para pesaing, sesama yang bisa mengobati, merasa tersaingi. Mereka melihat penjualan obat kimia mereka berkurang sejak kedatangan Tizha di kota mereka. Banyak orang mulai beralih dari pengobatan yang biasa dilakukan kepada pengobatan yang ditawarkan Tizha.

Memang sama-sama butuh proses.

Tapi, entah bagaimana, jika berobat kepada Tizha, harapan segera sembuh itu pasti akan selalu muncul. Segala harapan dan semangat itu seperti tumbuh kembali setelah sekian lama mungkin sempat menghilang.

Menurut Tizha dengan harapan dan semangat untuk tetap bisa hidup itulah yang menjadi obat agar segala penyakit bisa segera hilang.

Mungkin cara pengobatan seperti ini yang banyak disukai orang-orang sehingga mengganggu para penyembuh sakit lainnya. Mereka menganggap Tizha pesaing berat yang tidak mudah buat diganggu gugat.

Demikian juga pada kakak beradik Merna dan Mirina ini. Mereka sedemikian yakinnya bahwa sang kakak tertua, Lawson, akan sembuh di tangan Tizha hingga membuat Mirina berani berangkat sejak semalam agar bisa bertemu Tizha lebih dulu.

Niat mereka bisa terwujud hingga Tizha sudah berada di rumah mereka sekarang.

Tapi, mengapa Lawson belum menunjukkan tanda-tanda akan sembuh?

Sebentar kegelisahan menggelayut di raut muka masing-masing orang di ruangan ini. Detak menit rasanya berputar lambat. Mereka ingin sekali melihat hasil dari penyembuhan Tizha.

Sesekali mereka saling pandang dengan wajah tak berubah.

Ada harapan sekaligus kecemasan. Tidak bisa ditutupi.

Sampai ketika terdengar batuk-batuk Lawson, mengagetkan semua orang.

Segera saja Merna mendekati saudara laki-lakinya itu untuk memastikan kondisinya. Diikuti yang lain.

Begitu didekati, Lawson membuka mata, melirik ke kanan dan kiri lalu tersenyum kecil begitu matanya mengetahui ada Tizha di sana. Tangannya diangkat sedikit seolah-olah ingin disentuh Tizha.

Tizha menyadari lalu mendekati Lawson tidur dan menggenggam erat tangannya yang mulai terasa hangat. Sedari tadi sekujur tubuh terutama telapak tangan dan kaki Lawson memang terasa dingin sekali. Seperti habis berendam di air es.

“Tiz… Terrriiimmmm…” Lawson nampak ingin mengucapkan sesuatu kepada Tizha.

Tizha menggerak-gerakkan jari manisnya, menandakan agar Lawson tidak perlu meneruskan omongannya.

“Simpan suaramu, ya… Pulihkan tenaga dulu, setelah itu baru boleh bicara. Merna, Mirina, coba beri saudaramu ini makanan yang lembut dulu agar tenaganya bisa sedikit pulih.”

Yang dipanggil segera mendekat dan ada yang berhambur ke dapur untuk menyiapkan apa yang diminta. Wajah mereka mulai berganti dengan wajah sukacita, sebab dengan kejadian barusan menunjukkan kemajuan baik atas kondisi Lawson.

Setelah semua sudah lebih baik serta menghabiskan makan siang yang dihidangkan, Tizha dan Bang Khery pamit pulang. Hari sudah mendekati larut siang. Bila tidak segera pulang, mereka bisa kemalaman di jalan.

“Apakah kita tidak meminta uang jalan kepada mereka, Tizha?” tanya Bang Khery begitu mereka merapikan barang-barang mereka.

Tizha tersenyum. “Jangan ditambah kesusahan mereka dengan keinginan kita, Khery… Bukankah mereka juga sudah memberi perbekalan yang cukup buat kita?”

Bang Khery terdiam.

Dia tidak bisa membantah.

Segera ia panggul beberapa buah tangan yang dibawakan buat mereka sebagai tanda terima kasih dari keluarga Lawson.

Iringan kepulangan Tizha dan Bang Khery disertai dengan tatapan berarti dari kakak beradik yang sedari pagi sempat mengembangkan kesedihan. Kini kesedihan itu sudah beralih dengan kebahagiaan atas harapan dan semangat baru bagi kesembuhan kakak tertua mereka.

(bersambung)

Kesan Anda